Tergopoh – gopoh aku menuju dapur
kemudian mengambil segelas air putih dingin, nikmat sekali ! Baru beberapa
teguk air dingin itu ku nikmati, tiba – tiba terdengar teriakan di telingaku.
“Mutiiiii,
tunggu dulu sih ! Jangan cepat – cepat jalannya” Teriakan itu membangkitkan
kesadaranku.
Duh ya Alloh, ternyata aku melamun.
Aku sudah membayangkan segelas air dingin itu meluncur di tenggorokanku, tapi
oh tapi itu semua hanya lamunanku. Kembali Yaya memanggil dan menjejeri langkahku.
“Muti, aku panggil dari tadi ga
denger denger! Aku kan mau pulang bareng sama kamu”, papar Yaya.
Aku Cuma tersenyum malu, wah gawat ni
kalo Yaya tahu aku melamun tadi. Bisa bisa aku diledek olehnya.
“Yaya, kenapa kamu jalan kaki ?”,
tanyaku. “Biasanya kan kamu diantar jemput mang Bewok”
“Oh itu! Ehm mang Bewok lagi pulang
kampung. Tapi nanti aku ga diantar jemput mang Bewok lagi. InsyaAlloh aku mau
dibeliin sepeda sama ayahku, nanti sore. Jadi aku bisa berangkat dan pulang
naik sepeda, trus bisa main sepeda sepedaan di tanah lapang tiap sore habis
ngaji. Nanti ikutan main sepeda sepedaan, Mut”
Aku yang lemas karena sedang kehausan
dan kelaparan, jadi makin lemas mendengar Yaya akan mempunyai sepeda. Aku juga
ingin sekali mempunyai sepeda. Kan enak pastinya naik sepeda dari rumah ke
sekolah berangkat dan pulangnya, tidak akan kecapean lagi. Juga tidak kehausan
lagi. Dan pasti tidak tergoda untuk mampir di warung warung pinggir jalan yang
aroma masakannya begitu sedap. Juga minimarket di sepanjang jalan menuju rumah
yang terlihat minuman dinginnya. Uang sakuku selalu habis ketika pulang
sekolah, jadi aku tidak bisa membeli cemilan ataupun minuman sepulang sekolah.
Padahal ibuku selalu membekaliku cemilan dan 2 botol minuman untuk di sekolah.
Tapi, kata ayahku si aku emang doyan makan hehehehe, jadi bekal dari ibuku
selalu habis dan begitu pula uang sakuku. Itulah mengapa Ayahku menyarankanku
untuk jalan kaki saja berangkat-pulang sekolah.
Ehm, bukannya malah nambah kurus,
malah aku merasa makin nambah berat badanku. Soalnya tiap aku pulang sekolah,
aku langsung menyantap hidangan yang dimasak ibuku sebanyak 2 piring, ups! aduh
jangan sampai teman-temanku tahu ya. Bisa malu aku ni!
Keinginanku punya sepeda makin menggebu. Aku pasti
juga akan lebih cepat sampai dirumah, bisa istirahat dulu sebelum ngaji di
masjid. Banyak banget untungnya kalo aku beli sepeda. Aha ! nanti aku akan
bicarakan ini dengan Ibu. Siapa tau ibuku membelikanku sepeda.
Ehmm akhirnya sampai juga aku
dirumah. Aku berpisah dengan Yaya di pertigaan. Yaya belok ke kiri, aku ke
kanan.
“Assalamu’alaikum”, sahutku.
Rumahku sepi, ibu kemana ya? Aku
memang baru kelas 3 SD. Umurku 8 tahun. Tapi, Aku sudah diajarkan oleh ibuku
jika rumah sepi, maka aku harus ke rumah tetanggaku, namanya Bu Aos. Ibu selalu
menitipkan kunci rumah ketika ada urusan yang membuat ibuku belum sampai rumah
sebelum aku pulang.
“Assalamu’alaikum”, aku mengucap
salam lagi, kali ini di rumah bu Aos. Rumah bu Aos cukup lebar. Ruang tamunya
ada di sisi kanan warungnya. Oiya, Bu Aos punya warung yang menjual sembako dan
jajanan lainnya. Aku paling suka beli krupuk melarat dan rujak sambel asem.
Segarnya makanan itu. Keduanya merupakan makanan khas Cirebon.
Walaupun namanya krupuk melarat, tapi
tidak membuat yang makannya jadi melarat ya. Biasanya penyajian krupuk melarat
ini dipotong-potong dan ditaruh di kertas trus dikucuri sambal kacang yang
nikmat banget rasanya.
Aku melirik ke warung bu Aos, sepi.
Aku hanya melihat seplastik besar krupuk melarat beserta satu mangkuk besar sambel
yang membuat perutku makin keroncongan. Aku buru buru mengalihkan pandangan dan
langkahku ke ruang tamu bu Aos. Belum lagi aku mengucap salam, eh bu Aos muncul
sambil membawa sayur-sayuran untuk
membuat rujak sambael asem.
“Aih, kebetulan ini neng Muti datang.
Tadi ibu kamu menitipkan kunci ini”, kata Bu Aos.
“Ibu katanya harus ke kantor ayah.
Mungkin pulang sore. Kata ibu gitu, Neng” lanjutnya.
“Oiya neng, pasti laper ya ? hayu
atuh makan dulu. Ni dah bu Aos siapkan nasi lengko buat neng. Tadi ibu neng
mesen gitu ke ibu supaya neng Muti dibuatkan nasi lengko dan lauknya silakan
pilih sendiri,. Atau kalo mau krupuk melarat, boleh atuh neng ambil aja ya.
Jangan malu malu nanti kelaperan hehehe”
Bu Aos sudah menyiapkan nasi lengko
khas Cirebon, nasi beserta taburan irisan timun, tauge, tempe dan disiram
sambal kacang.
“Mau makan dimana neng ? Mangga kalo
mau makan disini boleh….” kata Bu Aos sambil menyerahkan nasi lengko di piring
ke tanganku.
Akhirnya aku pilih makan di rumah
saja karena badan ini sudah terasa lelah sekali. Kemudian akupun pamit sambil tak lupa mengucapkan
terimakasih. Aku memilih makan dirumah, karena bisa sambil selonjoran dan
memikirkan bagaimana caranya ngobrolin keinginanku beli sepeda.
Akupun segera menutup pintu setelah
masuk ke rumah. Aku mencari remot tivi, oh ternyata ada di meja makan. Lalu tanpa
ganti baju, aku segera menyantap nasi lengko buatan bu Aos. Aih, padahal ibu
selalu menyarankan kepadaku untuk selalu ganti baju seragam sekolah sepulang
sekolah. Tapi ah biarlah, kali ini saja ya bu aku melanggar amanahmu, map ya
bu, karena aku lapar!
“Muti, Muti….”
Terdengar sayup sayup kudengar suara
memanggilku. Ya Alloh, itu seperti suara ibu. Rupanya aku tertidur. Oiya aku
baru ingat aku di rumah sendirian. Aduh, kenapa aku ada dirumah ya. Aku
biasanya kalo ditinggal ibu, pasti aku bermain bersama anak bu Aos. Oh rupanya
aku kecapean setelah jalan kaki dari sekolah tadi. Oh iya, aku jadi ingat aku
mau membicarakan sesuatu ke ibuku.
Bergegas aku membukakan pintu rumah.
“Assalamu alaikum, Muti”, kata ibuku
setelah ku bukakan pintu.
“Sudah makan ? Tumben Muti ada di
rumah? Biasanya kalo ibu ga ada di rumah,
Muti main sama Humnah.” Tanya ibuku.
Wah kesempatan ni aku mengutarakan
keinginanku membeli sepeda.
“Muti udah makan bu, sama nasi lengko
dan bala bala. Juga krupuk sambel” jawabku. “Bu, tadi Muti kecapean jadi ga
main sama Humnah”
“oh gitu,,tapi sekarang udah ga
kecapean lagi kan ?” Tanya ibuku lagi. “Ayo, bergegas ni udah sore nanti bentar
lagi tante Firyal akan jemput kita menginap di rumah Tante Firyal” tegas ibuku
“Lho, bu kok nginep dirumah tante
Firyal? Emang kita mau ngapain ? tanyaku
“Muti lupa ya… tante Firyal kan mau
mengakikahi anaknya yang baru lahir. Ibu kan harus bantuin. Jadi ayo, segera
kesana. Ibu dah siapkan baju bajumu di tas.”
“Ibu, tapi Muti masih cape, Bu”,
rengekku
“Hahahaha,, kamu masih cape karena
nasi lengkonya kurang banyak ya? Nih, ibu bawakan sebungkus docang special buat
Muti”, ledek ibu.
Huh, sebel ga si diledekin kayak
gitu. Ehm, emang iya juga si mungkin aku masih cape karena masih pengen makan
lagi heheheehe. Akhirnya ku ambil juga docang itu. Docang juga makanan khas
Cirebon.
“Bu, Muti tuh cape karena jarak
sekolah ke rumah kalau siang itu terasa panjaaaaaaaang banget, Bu! Waktu kelas
1 dan 2 Muti kan enak dianter jemput sama ibu naik motor. Sekarang kelas 3,
Muti cape bu harus jalan kaki. Mana teman teman Muti yang jalan kaki sekarang
sudah pada punya sepeda, Bu. Trus, Yaya yang biasa dianterin mang Bewok, juga mau beli sepeda”,
ceritaku sambil menyeruput kuah docang yang ada parutan kelapanya.
“Lalu?” Tanya ibuku
“Ibuuuu, beliin sepeda buat Muti,
plis!
“Muti, ibu juga ingin sekali
membelikan Muti sepeda. Tapi Muti tahu kan, harga sepeda mahal, sayang!”
“Ehm, ambil aja uang tabungan Muti di
sekolah, Bu. Bagaimana ? Muti ada tabungan 100.000”
“Hahahahha, Muti..Muti….uang sejumlah
itu belum cukup untuk membeli sepeda, Sayang. Ehm, nanti deh kita tanya Tante
Firyal barangkali masih punya sepeda milik kakak Fathan ya”, bujuk ibuku
“Ibu, seinget Muti sepeda kakak
Fathan dah dirongsok deh bu. Asyik, berarti beli sepeda baru ya bu”
“ehm…ehm…anak ibu kalo dah minta
sesuatu pasti harus diwujudkan. Gini, aja deh. Kalo Muti bisa ngumpulin uang
sendiri buat beli sepeda, silakan beli. Tapi kalo ga bisa ngumpulin uang
sendiri, maka tidak jadi beli sepeda, bagaimana ?”
“Ibu…trus Muti harus bagaimana bu?
MUti baru punya uang kalo lebaran, kan banyak angpaw ke Muti. Tapi lebaran
masih luamaaaaa, ibu. Ibu pelit deh!” sungutku
“Eh eh,,anak cantik kok bersungut
sungut gitu ya. Tar ilang cantiknya. Banyak cara mendapatkan uang sayang,
misalnya dengan menabung. Kalo lama ngumpulin uang dengan cara menabung, maka
harus bagaimana ? Ayooo, anak ibu kan banyak akalnya, ayo mulai berfikir
bagaimana caranya mendapatkan uang yang halal untuk beli sepeda. Ini tantangan
buat Muti ya”
Akhirnya, obrolanku dengan ibupun
berakhir. Kami segera bergegas menyelesaikan makan dan beranjak untuk shalat
kemudian pergi menuju rumah Tante Firyal.
Sepanjang perjalanan menuju rumah
tante Firyal, aku berpikir bagaimana caranya mendapatkan uang ya buat beli
sepeda. Apakah aku harus menyisihkan uang sakuku untuk beli sepeda? Ah tapi
kata ibu harga sepeda mahal. Kalo iya uang sakuku ditabung, aduh bakalan makin
lemas aku pulang sekolahnya, dan menabung ditambah uang saku juga butuh waktu
lama. Aduh aku harus bagaimana ?
Akhirnya aku dan ibuku sampai dirumah
Tante Firyal. Senangnya, banyak makanan disini. Ada kue apem, lapis legit, kue
poci, dan masih banyak lainnya.
“Tante Firyal, Alhamdulillah ya
akikahnya akhirnya akan terlaksana. Wah, rejeki anak soleh ini ya!”, ujar ibuku
ke tante Firya.
“Aih, Alhamdulillah pisan ini sih
Bude. Sejak berjualan siwang, keuntungannya aku kumpulkan untuk beli kambing
ini. Alhamdulillah, ga perlu berbulan bulan nabungnya, Alhamdulillah sudah
terkumpul”, cerita tante Firyal.
”Siwang ? Oh,yang waktu itu tante
bawa ya ? Enak lho! Akhirnya jadi juga ya produksinya. Emang ga repot, Te?
Nanti bude bawa buat jualan di rumah juga ya, Te!“
“Ah, ga repot kok Bude, tinggal iris
iris, apalagi dah ada alatnya, trus tinggal goreng deh. Oke ok tar bantu jadi
reseller ya. Eh ayo makan dulu, nanti makanannya keburu dingin. Ada siwang juga
lho biar tambah asyik makannya” ajak Tante Firyal
Akupun segera bangkit mengikuti
ajakan Tante Firyal. Ehm, hidangannya begitu istimewa, aku sampe bingung mau
pilih yang mana. Namun, diantara kebingunganku, aku lebih bingung lagi mencari
siwang. Sepertinya siwang bukan makanan Cirebon. Karena aku belum pernah
dengar. Ehm, sebaiknya aku menanyakan hal ini ke Tante Firyal saja supaya lebih
jelas.
Akupun mencari sosok Tante Firyal,
tetapi beliau tidak kutemukan. Tiba-tiba….ada yang menepuk pundakku, lalu
terdengar suara berat itu.
“Hayoo Muti lagi apa ? Bawa piring,
kok malah ke ruang tamu…makanan adanya di ruang makan lho !” celetuk Om Angga,
suami Tante Firyal dan juga adik ibuku.
“Om Angga! Muti kangen banget sama
Om, kangen ditraktir hehehhehe”, jawabku sambil bersalaman sekaligus mencium
tangannya.
“Hahahaha, Muti Muti, kamu bisa aja
ya. Ayo sini piringnya diisi makanan dulu. Kita makan dulu nanti ngobrol”
Setelah makan selesai, sambil
istirahat di malam ini kamipun duduk santai di ruang belakang rumah Tante
Firyal. Semuanya berkumpul. Ada Tante, Om, Ibu dan Ayahkupun sudah tiba di
rumah Tante.
“Muti, tadi nyari apa di ruang tamu ?
Hayoo cerita!” Tanya Om Angga mengawali percakapan.
“Oiya Om, Muti tuh tadi mau cari yang
namanya siwang. Itu apa si Om? Kata Tante, siwang ada di meja makan, tapi kok
Muti cari ga ada?”
“Ya ampun, Muti, dari tadi Muti makan
siwang buat tambahan lauk lho. Ga terasa ya hehehehe?” jawab Om Angga sambil
tertawa terbahak bahak.
“Muti, siwang tuh yang ada di toples
merah, rasa pedas. Toples kuning rasa original.”, papar ibuku.
Oalah, aku baru tahu itu ya yang
namanya siwang. Ternyata bawang goreng yang dikasih terasi. Jadi SiWang itu
adalah Terasi Bawang. Aroma terasi khas Cirebon yang membuatku selalu nambah
dan nambah lagi siwangnya untuk lauk. Apalagi makannya bersama nasi hangat, ehm
dijamin makin nambah nasi dan siwangnya. Siwang ini sudah ada dari jaman dulu.
“Emang kenapa Muti nyari siwang ? “,
Tanya Ayah.
Kebetulan sekali ayah menanyakan
alasanku mencari siwang. Akupun paparkan keinginanku membeli sepeda dan
obrolanku dengan ibu siang tadi.
“Lalu apa hubungannya dengan siwang
?” Tanya Om Angga.
“Begini Om, Tante, Ayah, Ibu, karena
Muti harus nabung buat beli sepeda tapi kan pasti lama terkumpulnya ya kalo
Cuma nabung tiap hari, akhirnya Muti dapat ide dari obrolan Ibu dan Tante tadi
sore…idenya yaituuuuu berjualan siwang biar dapet uang tambahan ! Bagaimana ?”,
paparku. “Tapi Muti ga tahu harus jualan kemana ? Muti paling njualinnya ke
guru-guru dulu. Ehm kemana lagi jualannya ya?
“Waa, ide brilian….bagus itu. Coba
dipikir lagi mau dijual kemana ? Kalo Tante sama Om menitipkan di warung makan
atau sembako!” sahut Tante Firyal.
“Wah, anak ibu hebat idenya. Ibu
malah ga kepikiran begitu”, puji ibuku.
Sedangkan Ayah mengusap-usap rambutku
kemudianl mengacungkan dua ibu jarinya.
“Eh sudah malam, ayo semuanya istirahat!Besok
banyak tamu akan dating. Kita harus bangun pagi”, sahut ibuku. Kami semuapun
beranjak ke kamar masing masing. Sebelum tidur akupun menengok dede bayi Arfan,
menciuminya gemeess sekali. Sambil mendengarkan petuah petuah dari Tante dan Om
bagaimana cara menjual siwang dan lain lainnya. Jam pun sudah menunjukkan pukul
9 malam. Akupun pamit tidur.
Setelah mengikuti acara akikah dede
Arfan, sore kami baru kembali kerumah. Tante dan Om membawakan banyak sekali
siwang untuk aku jual. Akupun dah menyusun rencana mau menjual siwang ke Bu
aos, ke warung warung makan sepanjang jalan menuju ke sekolah, juga ke mini
market dekat sekolah. Guru-guruku juga aku tawari siwang jualanku. Ohya aku
juga menitipkan siwang ke pedagang sayur mayur di deket sekolah. Begitulah
saran Ayah dan Ibu juga Tante dan Om bahwa menjual siwang itu di tempat tempat
yang terdekat dahulu.
Alhamdulillah, setelah satu bulan
berjualan dengan cara menitipkan siwang, sekarang uang tabunganku sudah mulai
banyak. Ibu memperlihatkan jumlah tabungan dari hasil berjualan siwang. Waaa,
sudah terkumpul Rp. 950.000,- ehm kira-kira sudah cukup belum ya buat beli
sepeda?
Akupun menanyakan ke ibu apakah uang
tersebut sudah cukup untuk membeli sepeda.
Tiba-tiba Ayah menyahut, “Nanti sore
kita beli sepeda !”
“Horeeee, terimakasih Ayah!
Tapi…apakah uangnya cukup, Yah ?” tanyaku sekali lagi
“Ehm, uangnya kurang sih Muti. Tapi
ga apa apa, nanti ayah yang menggenapi uangnya agar cukup buat beli sepeda ya!”
jawab Ayahku
“Terima kasih Ayah, Ibu”, akupun
kegirangan dan memeluk mereka bersamaan.
“Tapi janji ya, jualan siwangnya
terus dilanjutkan walaupun sepeda sudah terbeli”, tegas ibuku
“Siap, Bu BOS!”
Akhirnya, akupun bersorak sorai kegirangan
sambil terus bersyukur dimudahkan menabung dengan cara berjualan. Akupun sudah
membayangkan masa masa lelah berjalan kaki menuju sekolah sudah berakhir.
Di depan mataku sekarang sudah
berjejer banyaaaak sepeda. Aku senyum senyum melihat sepeda yang semuanya
tampak indaah, baguus.
“Yah, beli semuanya aja ya, Muti
bingung pilih yang mana?”, gurauku ke Ayah dan Ibu.
“Boleh beli sepeda semuanya. Tapi
nanti dijual lagi ya sepedanya”, sahut Ibuku sambil tertawa terbahak bahak
bersama Ayah. Kamipun tertawa bersama – sama.
Karena hari sudah sore, maka aku segera
memilih sepeda warna biru. Aku suka warna biru, karena mengingatkanku pada
warna langit yang biru. Langit yang kini terhampar luas membentang.
Sesampainya dirumah, aku menempelkan
tulisan yang sudah dibuat Ayah.
Aku menuju lapangan tempat anak anak
biasanya bermain sepeda.
“Kring-Kring-Kring-Kring”
Tiba-tiba aku dengar suara sepeda dibelakangku,
belum lagi aku menengok, sepeda itu sudah menyalipku dan menuju pohon kersem
yang rindang.
“Yaya, tunggu aku…”, teriakku
mengejar Yaya dengan gowesan sepeda yang makin ku percepat.
“Sepeda baru, Mut? Berarti besok kita
bisa berangkat bareng ni”, kata Yaya sambil memanjat pohon kersem dan mengambil
buah kersem yang merah. Akupun mengikutinya sambil membawa plastik untuk
menyimpan buah kersem tersebut. Kamipun mengobrol diatas pohon kersem sembari
memakan kersem kersem yang memerah.
Matahari kian terbenam, maka kamipun
beranjak turun dari pohon kersem menuju rumah masing – masing. Sebelum
berpisah, Yaya membisikkan sesuatu kepadaku.
“Nanti malam, kirim siwang ya
kerumahku, aku lupa ibuku memesan siwang 3 pedas dan 2 yang original. Aku
tunggu ya dirumah, Muti Beruang hehehehe”, Ledek Yaya.
Akupun senyum dan mengacungkan dua
ibu jariku. Nah, siapa yang mau jadi beruang sepertiku ?